Kamis, 06 September 2012

Disertasi Doktor


BAB  I

PENDAHULUAN
                                             
1.1.      Latar Belakang Masalah
Dalam menghadapi perubahan sosial, selalu terjadi dinamika serta fenomena di dalam perilaku anggota masyarakat, dan hal tersebut tampak ketika beradaptasi dengan lingkungannya. Keadaan yang sama juga dialami masyarakat Keo di desa Lajawajo, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Ngadha, Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai wilayah penelitian ini. Peneliti memberikan perhatian terhadap nilai-nilai budaya, fungsi, dan makna simbolik rumah adat masyarakat Keo. Kajian terhadap rumah adat tersebut akan dilihat dalam konteks perubahan masyarakatnya, dengan memberikan penekanan pada respons dan adaptasi terhadap adanya perubahan. Fenomena perubahan sosial akan dihubungkan antara warisan nilai-nilai budaya rumah adat dengan realitas kehidupan masyarakat desa Lajawajo saat ini. Peneliti tertarik melakukan pengkajian mengenai nilai-nilai budaya rumah adat, fungsi, dan makna simboliknya dalam konteks perubahan sosial tersebut,  mengingat penelitian yang memberi fokus terhadap hal tersebut belum banyak dilakukan peneliti sebelumnya.
Peneliti mengamati keterkaitan antara nilai-nilai budaya rumah adat, fungsi dan makna simboliknya  dengan realitas perubahan sosial yang ikut menentukan terhadap preferensi dan kelangsungan hidup masyarakat setempat. Hal ini dapat dimaklumi oleh karena rumah adat bagi masyarakat Keo, merupakan rangkaian menyeluruh, sebagai pusat kegiatan masyarakatnya dan bahkan sebagai centrum  segala kegiatan masyarakat. Bagi Masyarakat Keo, segala bentuk kegiatan di lingkungan rumah adat, amat berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari, di dalam bertindak. Masyarakat setempat amat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya rumah adat serta kegiatan yang terkait dengannya. Pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa di dalam mendirikan rumah adat, biasanya diikuti oleh serangkaian kegiatan pesta adat, yang biasanya diselenggarakan adalah ketika membangun rumah induk atau rumah adat (sao pu’u) yang dibangun di tengah-tengah kampung dan menjadi simbol persatuan, kerukunan dan kebersamaan serta penancapan tugu di tengah kampung adat, yang dikenal dengan nama ngadhu bhaga atau peo,  Oleh karena rumah induk atau sa’o pu’u merupakan pusat segala kegiatan masyarakat dan bahkan yang mengatur segala aktivitasnya, maka dalam membangun rumah adat (sao pu’u) Dari sinilah tercermin berbagai nilai yang tercakup dalam nilai-nilai budaya, fungsi dan makna simboliknya. Berkenaan dengan nilai-nilai budaya rumah adat, fungsi dan makna simboliknya serta proses perubahan sosial, sedikit demi sedikit ditemui telah terjadi perubahan dalam tatanan masyarakat setempat termasuk di dalam sistem pertaniannya. Dengan dasar dan pertimbangan itulah,  yang mendorong peneliti untuk melakukan kajian dan mengungkap Nilai-Nilai Budaya, Fungsi, dan Makna Simbolik Rumah Adat Keo di desa Lajawajo, dalam Konteks Perubahan Masyarakat Keo pada umumnya. Peneliti mengkaji nilai-nilai budaya, fungsi dan makna simbolik rumah adat, dimana kajian ini akan memberikan sejumlah jawaban sebagai temuan atau hasil dari penelitian ini. Berdasarkan latar belakang dan fenomena sebagaimana diuraikan di atas, maka peneliti mengangkat topik  yang bertujuan dengan judul : Nilai-Nilai Budaya, Fungsi, dan Makna Simbolik Rumah Adat Keo, Dalam Konteks Perubahan Masyarakat di desa Lajawajo Kecamatan Mauponggo Kabupaten Ngadha,-Flores-Propinsi Nusa Tenggara Timur-NTT).

1.2. Fokus Penelitian.
Berdasarkan uraian serta latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi fokus penelitian ini  adalah  :
  
    1.2.1. Nilai-Nilai Budaya Rumah Adat Keo yang mencakup : Nilai Pengayoman/Perlindungan, Nilai Kebersamaan, Nilai Gotong Royong, Nilai Religi, Nilai Kesucian, Nilai Kepemimpinan, Nilai Kejujuran, Nilai Seni, dan Nilai Perdamaian
1.2.2. Fungsi Rumah Adat yang mencakup : Sebagai Tempat Tinggal, Tempat Menyelesaikan Masalah, Media Pemersatu, dan melakukan Pengadilan Adat.
1.2.3.  Makna Simbolik Rumah Adat keo, yang mencakup : Sebagai Simbol Kepemimpinan, Simbol Kesaktian, Simbol Kekuasaan, Simbol Kemakmuran, Simbol Perjuangan, dan Simbol Kesucian.


1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan mendeskripsikan Nilai-Nilai Budaya, Fungsi, dan Makna Simbolik Rumah Adat Keo di desa Lajawajo, Kecamatan Mauponggo di Kabupaten Ngadha, Flores, Nusa Tenggara Timur.

1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mendeskripsikan  :
1.3.2.1. Nilai-Nilai Budaya Rumah Adat Keo di desa Lajawajo Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Ngadha Nusa Tenggara Timur, yang mencakup : Nilai Pengayoman/Perlindungan, Nilai Kebersamaan, Nilai Gotong Royong, Nilai Religi, Nilai Kesucian, Nilai Kepemimpinan, Nilai Kejujuran, Nilai Seni, dan Nilai Perdamaian.
1.3.2.2. Fungsi Rumah Adat Keo yang mencakup : Sebagai tempat tinggal, tempat menyelesaikan masalah, media pemersatu, dan melakukan pengadilan adat.
1.3.2.3. Makna Simbolik Rumah Adat Keo, yang mencakup sebagai Simbol Kepemimpinan, Simbol Kesaktian, Simbol Kekuasaan, Simbol Kemakmuran, Simbol Perjuangan, dan Simbol Kesucian.
 

1.4. Manfaat Penelitian
   1.4.1.   Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kepentingan akademik sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu sosial pada umumnya guna memahami perubahan pergeseran makna dan nilai rumah adat Keo di  desa Lajawajo pada khususnya.
   1.4.2. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara praktis untuk memahami arti Nilai-Nilai Budaya Rumah Adat, Fungsi Rumah Adat Keo, dan Makna Simbolik dalam kehidupan masyarakat Keo di desa Lajawajo Kecamatan Mauponggo Kabupaten Ngadha, Nusa Tenggara Timur. Di samping itu, diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi terkait dalam mengambil tindakan kebijaksanaan serta merumuskan perencanaan dalam mengambil tindakan untuk membina dan memperkaya kebudayaan nasional.
 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebudayaan Sebagai Cara Hidup
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1986) dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kebudayaan dapat dibedakan dalam tiga wujud yakni : (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat; dan  (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Sehubungan dengan pemahaman terhadap tingkah laku manusia, James P. Spradley (1972) menyatakan bahwa di dalam bertindak, setiap individu memiliki seperangkat aturan-aturan (set of rules) yang dipakai sebagai pegangan untuk menginterpretasi gejala-gejala yang ada dalam lingkungannya dan menjadi pegangan bagi mewujudkan kelakuan-kelakuan.
Adapun ciri-ciri dari aturan-aturan yang menjadi pegangan dalam mewujudkan tindakan tersebut adalah sebagai berikut : (a) Instruksi-instruksi untuk bertingkah laku tertentu (berkelakuan tertentu), aturan-aturan tersebut merupakan pegangan bagi pelakunya untuk berkelakuan tertentu dalam situasi tertentu pula. (b). Aturan-aturan mempunyai pusatnya di pemikiran sebagai elemen-elemen pengetahuan manusia, aturan-aturan ini ada pada individu dan bukan pada masyarakat. (c). Aturan-aturan dipelajari melalui komunikasi simbolik dengan menyimpulkan dari kelakuan. Misalnya antara guru dan murid melalui simbol-simbol inferensi. Manusia cenderung meramalkan apa yang akan dilakukan yang diwujudkan ia mengharapkan tanggapan yang sesuai dengan apa yang diinginkannya. (d) Aturan-aturan yang dipakai pada tingkat yang berbeda, yang menentukan pengaruh-pengaruh atau akibat-akibat yang berbeda-beda pada kelakuan. Tingkat-tingkat yang berbeda pada nilai-nilai yaitu etos dan pandangan hidup, dan ada pula aturan yang pragmatis
            Walter Goldschmidt (1990) menyebutkan bahwa untuk memahami perilaku manusia fokus dan perhatian hendaknya lebih ditujukan kepada kemampuan individu sepanjang hidupnya berbuat untuk tujuan tertentu dan dengan motivasi tertentu pula. Setiap orang memiliki perbedaan dalam hal sifat, kemampuan fisik serta mental. Setiap orang memiliki motivasi, dorongan internal yang menuntunnya ke arah suatu tindakan atau perbuatan tertentu. Suatu sistem sosial cenderung menampilkan tugas-tugas tertentu yang diperlukan untuk mempertahankan hidupnya dan analisis sosiologi mencakup usaha untuk menemukan struktur sosial yang dapat melaksanakan tugas-tugas tersebut atau memenuhi kebutuhan sistem sosial tersebut. Struktur atau lembaga sosial yang ada sekarang secara inheren fungsional bagi masyarakat. Birokrasi yang berlebihan bisa menjadi disfungsi bagi masyarakat, karena kekacauan terhadap peraturan dan akan sangat mengganggu kebebasan individu. Tipologi masyarakat dapat dibedakan menjadi masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Komunitas ditandai dengan ikatan hubungan pribadi sangat menonjol atau hubungan kekerabatan, sedangkan masyarakat ditandai oleh hubungan yang sifatnya inpersonal atau relasi-relasi tipe bisnis. Manusia sebagai makluk sosial selalu hidup berkelompok dan mempunyai kepentingan yang merupakan tuntutan perorangan maupun kelompok untuk dapat dipenuhi. Dalam kehidupan kelompok kebersamaan dan persatuan merupakan landasan utamanya dalam mencapai tujuan maupun kebutuhan kelompok yang diwujudkan melalui struktur, kedudukan anggota dan adanya pembagian tugas. Perubahan pada setiap tingkat kehidupan sosial dianggap sebagai perubahan sosial. Sehingga penelitian pada Masyarakat Keo, Desa Lajawajo  dapat dipusatkan pada arah dan tingkat perubahan di berbagai tingkat dan hubungan antar perubahan di berbagai tingkat yang berbeda. Perubahan sosial sebagai proses perkembangan akan menimbulkan perbedaan struktur dan fungsi masyarakat selalu saling terkait.

2.2. Konsepsi Mengenai  Budaya
2.2.1.  Definisi Budaya
Defenisi klasik tentang budaya yang lebih sering dikutip adalah yang diajukan Edward Taylor (1871), yang menyatakan budaya merupakan kompleks menyeluruh yang didalamnya termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta setiap kesanggupan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat (Richter Jr, 1987; Horton dan Hunt, 1968; Keesing. 1981). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ia merupakan keseluruhan aspek dari cara hidup suatu masyarakat itu sendiri (Richter, 1987) ia merupakan segala sesuatu yang diperoleh dalam masyarakat melalui belajar dan saling berbagi dengan sesama warga masyarakat (Horton et al, 1968), ia merupakan akumulasi hasil belajar dan pengalaman umat manusia di suatu masyarakat (Keesing, 1981), ia bisa disebut sebagai keseluruhan warisan sosial suatu masyarakat, yang merupakan rancangan lengkap untuk hidup mereka (Broom  et al, 1957), ia adalah keseluruhan cara hidup yang melembaga dalam suatu masyarakat (Betrand, 1967; Ballantine, 1985). Hal senada juga dikemukakan Thompson (1990), yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah : (1) keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, (2) warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya (3) suatu cara berpikir, merasa, dan percaya, (4) suatu abstraksi dari tingkah laku (5) suatu teori tentang cara suatu kelompok masyarakat bertingkah laku (6) suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar (7) seperangkat orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung, (8) tingkah laku yang dipelajari (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normati (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik dengan lingkungan luar maupun dengan orang lain (11) suatu endapan sejarah (Kluckholn dalam Geertz, 1992). Lebih jauh kebudayaan juga merupakan perpaduan antara social relation dan kultural bias.


2.2.2.  Wujud dan Unsur Kebudayaan.
Budaya sebagai keseluruhan cara hidup mencerminkan kesepakatan tentang norma, nilai dan kepercayaan yang membuat memungkinkannya suatu masyarakat untuk hidup bersama secara relatif harmonis (Babbie, 1982), ia mencakup idea dan praktik yang disetujui dan dilakukan oleh kebanyakan warga masyarakat tentang bagaimana mereka merespons kondisi alam maupun sosial yang dihadapinya (Richter, 1987). Dalam memandang budaya sebagai pola hidup secara khusus berkenaan dengan pandangan terhadap kerja. Pola tersebut sering disebut sebagai budaya kerja. Geertz (1973) menyatakan bahwa budaya kerja sebagai suatu kekayaan rohaniah berupa sikap mendasar terhadap “diri dan dunia” yang terpancar dalam kehidupan sehari-hari. Kajian tentang budaya lebih difokuskan pada budaya hidup sehari-hari merupakan pola untuk hidup. Unsur-unsur kebudayaan yakni keseluruhan dari tindakan manusia yang berpola berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang amat banyak jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu masyarakat yang luas selalu dapat kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar  dengan itu suatu kebudayaan yang luas selalu dapat pula kita rinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. C. Kluckhohn dalam sebuah karangan berjudul Universal Categories of Culture (1953) mengambil sari dari berbagai kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita lihat sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah : (1) Bahasa, (2) Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi Sosial, (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) Sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7) Kesenian. Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan yaitu wujudnya yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem sosial, dan yang berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian sistem ekonomi misalnya memiliki wujudnya seperti konsep-konsep, rencana-rencana, kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujud berupa tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahli transport, pengecer dengan konsumen, dan kecuali itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka, surga dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan kecuali itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan benda-benda religius. Tiap unsur kebudayaan universal dapat diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang lebih kecil sampai beberapa kali. Dengan mengikuti metode pemerincian dari seorang ahli antropologi bernama R. Linton, maka pemerincian itu akan kita lakukan sampai empat kali. Karena serupa dengan kebudayaan dalam keseluruhan, tiap unsur kebudayaan universal juga mempunyai tiga wujud, yaitu wujud sistem budaya, wujud sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik.
           
2.2.3. Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat
         Di dalam kehidupan masyarakat terjadi dinamika hubungan satu sama lain yang ditentukan oleh kekuatan pengikatnya dan dikenal dengan nilai-nilai atau norma. Koentjoroningrat (1997), menjelaskan untuk dapat membedakan kekuatan pengikat dalam masyarakat tersebut, secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian, yakni : Cara (usage) , yakni  kebiasaan seseorang yang disengaja atau tidak dianggap lumrah untuk dirinya, tetapi menjadi tidak lumrah untuk orang lain. Penyimpangan terhadap kebiasaan semacam ini hanya terletak pada kesantunan atau tidak. Demikian juga dengan kebiasaan (folksway),  yang menurut Mac Iver and Page (1967) merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat, misalnya kebiasaan menghormati orang yang lebih tua sudah merupakan kebiasaan yang dihormati. Nilai-nilai sosial tata kelakuan (mores) kebiasaan yang hidup dalam interaksi manusia, yang dijaga dan dilindungi, bahkan dia menjadi alat pengawas atau kontrol dalam masyarakat. Kemudian adat istiadat (custom). Merupakan tata kelakuan yang sudah kuat atau baku serta terintegral dengan pola-pola hidup masyarakat, bila terjadi penyimpangan dari adat istiadat tersebut, maka akan menimbulkan rasa sakit atau lain sebagainya. Menurut Nottingham (1994), hubungan antara konsepsi masyarakat tentang yang sakral dan nilai-nilai moral kelompok bisa merupakan kekuatan pengikat dan nilai yang dilindungi dalam  masyarakat. Menurutnya hal tersebut lebih banyak ditemui pada interaksi manusia dengan agamanya masing-masing.
         Di dalam kehidupan Masyarakat Keo, nilai-nilai budaya dalam wujud  cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat, pada umumnya masih berkembang secara baik dan dalam beberapa hal nilai-nilai tersebut masih dilindungi sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Kuatnya  nilai-nilai budaya pada Masyarakat Keo dapat membentuk kohesi sosial yang menjadi bagian sangat integral dalam masyarakat.  Masyarakat Keo sebagai manusia  saling berkomunikasi sebab dorongan adanya kebutuhan akan hal-hal yang bersifat jasmani dan rohani, termasuk didalamnya hasrat akan perlindungan, keamanan dan perdamaian. Jiwa kekerabatan sebagai salah satu nilai budaya keo, sudah mendarah daging dalam masyarakat dan umumnya sifatnya luas serta bertopang pada ikatan darah. Semuanya itu didasari oleh kebersamaan yang sudah dibangun dalam lingkup rumah adat sebagai pusat dan yang mengatur segala kegiatan masyarakatnya. Adanya ikatan ini mempertebal rasa solidaritas antara mereka. Hal ini jelas tampak dalam pesta-pesta, dalam upacara-upacara adat atau bila menghadapi bahaya yang mengancam suku, dan pada melaksanakan sesuatu bagi kepentingan seseorang atau bersama.
Nilai budaya melalui rumah adat, fungsi dan makna simboliknya, juga menonjol di dalam pola hidup sosial-kolektif. Dalam hal ini di bidang pertanian misalnya, ada banyak tanah garapan adalah milik suku, walau di zaman ini sistem serupa itu agaknya semakin berkurang tersebab meningkatnya penduduk dan karena setiap keluarga, ingin mempunyai tanah garapan sendiri. Tetapi milik bersama atas tanahlah yang mendorong rasa persatuan dan keterikatan dalam masyarakat. Banyak tanah pertanian masyarakat Keo terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit yang terjal. Sebagian tanah dipakai untuk perladangan, meski gersang dan kering. Segala-galanya dilakukan dalam semangat gotong-royong. Kerja sama sangat dibutuhkan dalam menggarap tanah ladang. Struktur perkampungan juga membangkitkan pemikiran dan perasaan sosial kolektif. Kesatuan sosial yang bersumber pada keterikatan wilayah atau kampung asal terutama tetangga, menyebabkan ikatan wilayah atau kampong asal terutama tetangga, menyebabkan orang secara sadar atau tidak merasa akrab serta saling berbagi rasa. Pesta-pesta adat yang begitu banyak, menuntut pengorbanan material dan moril, memungkinkan masyarakatnya berpikir sosial kolektif. Namun Masyarakat Keo sekarang lebih berpikir ekonomis dan individualistis, sehingga tradisi agak tergoncang. Syukurlah bahwa kelabilan adat resam belum begitu dirasakan, karena cara berpikir sosial kolektif telah berurat akar dalam tubuh masyarakat Keo.  Selain itu, nilai-nilai budaya pada masyarakat Keo dapat membentuk pemikiran dan perasaan sosial kolektif terutama berdasarkan ikatan kekeluargaan dan kesukuan. Oleh perkawinan maka ikatan kebatinan semakin meluas.


2.3.  Konsepsi Mengenai Masyarakat

2.3.1. Definisi Masyarakat
Adanya bermacam-macam wujud kesatuan kolektif manusia menyebabkan bahwa kita memerlukan beberapa istilah untuk membeda-bedakan berbagai macam kesatuan masyarakat. Kesatuan-kesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur  dari masyarakat, yaitu (1) kategori sosial, (2) golongan sosial, (3) komunitas, (4) kelompok, (5) dan perkumpulan. Kelima istilah sebutan itu beserta konsepnya, syarat-syarat pengikatnya, serta ciri-cirinya berbeda antara yang satu dengan lainnya. Masyarakat adalah kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Dalam bahasa inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkin para warganya untuk berinteraksi secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi. Adanya prasarana untuk berinteraksi memang menyebabkan bahwa warga dari suatu kolektif manusia akan saling berinteraksi; sebaliknya, adanya hanya suatu potensi untuk berinteraksi saja belum berarti bahwa warga dari suatu kesatuan manusia itu benar-benar akan berinteraksi. Suatu suku bangsa, misalnya saja Suku Keo, mempunyai potensi untuk berinteraksi, yaitu Bahasa Keo, namun adanya potensi  itu saja tidak akan menyebabkan bahwa semua Orang Keo tanpa alasan mengembangkan aktivitas-aktivitas yang menyebabkan suatu interaksi secara intensif di antara semua Orang Keo.
Hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus. Sekumpulan orang yang mengerumuni seorang tukang penjual jamu di pinggir jalan biasanya tidak kita anggap sebagai suatu masyarakat, karena meskipun kadang-kadang mereka juga berinteraksi secara terbatas, mereka tidak mempunyai suatu ikatan lain kecuali ikatan berupa perhatian terhadap penjual jamu tadi. Ikatan apa yang membuat suatu kesatuan manusia itu menjadi suatu masyarakat ?. Yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinyu; dengan perkataan lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat-istiadat yang khas (Geertz, 1973). Ikatan adat-istiadat khas dalam suatu masyarakat meliputi sektor kehidupan serta suatu kontinuitas dalam waktu, suatu masyarakat manusia harus juga mempunyai ciri lain, yaitu suatu rasa identitas diantara para warga atau anggotanya, bahwa mereka memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Dengan demikian defenisi masyarakat secara khusus dapat kita rumuskan sebagai berikut : Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Gillin, 1954) Menurut Djojodigoeno, masyarakat Indonesia sebagai contoh suatu masyarakat dalam arti luas, tetapi misalnya masyarakat dari suatu desa atau kota tertentu, masyarakat yang terdiri dari warga suatu kelompok kekerabatan seperti dadia, marga, atau suku, kita anggap sebagai contoh dari suatu masyarakat dalam arti yang sempit. Kesatuan wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas, dan rasa loyalitas terhadap komunitas sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas, dan pangkal dari suatu perasaan seperti patriotisme, nasionalisme dan sebagainya, yang biasanya bersangkutan dengan negara. Suatu negara merupakan wujud dari suatu komunitas yang paling besar. Sebagai suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. (Rine-heart et al, 1973).

2.4.  Adat Istiadat Pada Masyarakat Keo di Desa Lajawajo
2.4.1. Keberadaan Rumah Adat
            Dalam mengkaji nilai-nilai budaya dalam konteks perubahan Masyarakat Keo, perhatian utama ditujukan dalam hal-hal yang tampak sangat menonjol seperti keberadaan rumah adat (Sao Pu’u). Rumah Adat (Sao Pu’u) bagi Orang Keo pada masa lampau bukan saja sebagai tempat berteduh, tetapi merupakan suatu kesatuan sosial dan sebagai pusat berbagai kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat. Rumah adat selain sebagai pusat kegiatan sosialnya juga dikenal sebagai untuk mengatur semua kegiatan masyarakatnya sesuai kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati bersama. Sehingga pada umumnya rasa persatuan dan satu kesatuan Masyarakat Keo masa kini berasal dari orang-orang atau generasi keturunannya yang mendiami rumah adat yang sama pada masa yang silam. Pada Masyarakat Keo dalam satu kampung dapat dijumpai lebih dari satu unit rumah adat. Di wilayah Kecamatan Mauponggo rumah adat dikenal dengan nama Sa’o Waja atau Sa’o Pu’u, tetapi setiap kelompok suku masyarakat menyebutnya dengan berbagai variasi istilah sesuai dengan bahasa  sukunya. Kata Waja atau Pu’u mungkin sekali berasal dari Bahasa Keo. Pu’u yang berarti sumber. Dalam rumah adat dihuni antara enam hingga sepuluh unit kepala keluarga, dan tiap keluarga menempati satu bilik atau ruang sendiri. Rumah adat memiliki ketinggian antara antara delapan hingga lima belas feet (4,5 meter)  dari permukaan tanah dengan panjang dapat mencapai kira-kira seratus feet (30 meter). Rumah-rumah adat ini setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia kebanyakan sudah tidak terawat dan banyak yang hancur. Rusaknya rumah adat di wilayah Masyarakat Keo sebagai akibat anjuran aparat pemerintah agar masyarakat membangun rumah-rumah yang lebih kecil untuk kediaman unit kelompok umat basis (nuclear family). Mulyono (1993) melaporkan bahwa di Wilayah Flores Tengah pada tahun 1985 telah diterbitkan peraturan agar warga masyarakat membangun rumah permanen untuk tempat tinggal masing-masing keluarga.
             
2.4.2.  Kesenian  Pada  Masyarakat Keo
            Rumah adat sebagai pusat semua kegiatan Masyarakat Keo, memiliki sistem nilai budaya, pandangan hidup dan ideologi yang amat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas dan konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kecuali itu, para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tak dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat, dengan cara mendiskusikannya secara rasional. Dalam tiap masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga masyarakatnya.
            Suatu sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi manusia yang menganutnya. Namun istilah ’pandangan hidup’ sebaiknya dipisahkan dari konsep sistem nilai budaya. Pandangan hidup itu biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, yang dipilih secara selektif oleh para individu dan golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai” itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat, “pandangan hidup” itu merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh golongan-golongan atau lebih sempit lagi, individu-individu khusus dalam masyarakat. Karena itu, hanya ada pandangan hidup golongan atau individu tertentu, tetapi tidak ada pendangan hidup seluruh masyarakat.
           
2.5.  Sistem Religi pada Masyarakat Keo di Desa Lajawajo
Kehidupan dalam lingkup rumah adat, mewariskan suatu konsepsi mengenai azas religi yang berorientasi kepada sikap manusia dalam menghadapi dunia gaib atau hal yang gaib berasal dari ahli teologi Rudolf Otto, yang diuraikannya dalam sebuah buku yang telah menarik perhatian kalangan luas, berjudul Das Heilige (1917). Menurut Otto, semua sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha dasyat (tremendum) dan keramat (sacer) oleh manusia. Sifat dari hal yang gaib serta keramat itu adalah maha-abadi, maha-dasyat, maha-baik, maha-adil, maha-bijaksana, tak terlihat, tak berubah, tak terbatas, dan sebagainya. Pokoknya, sifatnya pada azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa manusia mana pun juga, karena “hal yang gaib serta keramat” itu memang memiliki sifat-sifat yang sebenarnya tak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia. Walaupun demikian, dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia, “hal yang gaib dan keramat”, yang menimbulkan sikap kagum-terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya. Menurut Otto sistem religi dan masyarakat bersahaja belum merupakan agama, tetapi hanya suatu tahap pendahuluan dari agama yang sedang berkembang, di mana  adanya suatu unsur penting dalam tiap sistem religi, kepercayaan atau agama, yaitu suatu emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam, yang disebabkan karena sikap kagum-terpesona terhadap hal-hal yang gaib dan keramat.
Upacara religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka  tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau makluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghuni dunia gaib lainnya. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang. Tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti : berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, berseni-drama suci, berpuasa intoxiaksi, bertapa dan bersamadi. Semua komponen religi itu dalam fungsinya erat hubungannya satu dengan lain. Sistem keyakinan menentukan acara ritus dan upacara ( Koenjaraningrat,  1982). Masyarakat Keo sudah dari mula adalah insan beragama. Sebelum kedatangan Agama Kristen dan Islam, komunitas tradisional Keo telah memiliki agama, yang dijuluki kepercayaan asli. Kepercayaan ini bersama-sama dengan adat kebiasaan, dianggap sebagai dasar kelanjutan suku. Pujaan leluhur atau hubungan dengan leluhur, di Keo dianggap rupanya identitas dengan suku. Namun, bukanlah leluhur yang menjadi Allah mereka. Setiap suku mempunyai nilai budaya masing-masing. Tetapi banyak diantaranya saling bermiripan, bahkan ada pula yang sama. Maka untuk mengidentifikasi budaya Keo, dibuatlah suatu riset terambil dari komunitas-komunitas suku, menurut keadaannya yang konkret. Hasilnya ialah tersuakan serangkuman nilai-nilai budaya tradisional yang khas bersifat : sosial, harmonis, mitis, magis, takhyul, simbolis, etis, dan religius. Sifat-sifat khas Masyarakat Keo ini sudah ada pada para leluhur yang kemudian diwariskan turun-temurun. Dengan berpikir atau menghayati nilai-nilai tradisional tersebut, tidaklah berarti bahwa masyarakatnya juga primitif sebagai manusia purba, yang dunianya didominasi oleh perbuatan-perbuatan gaib dan penuh rahasia serta lebih terselami oleh rasa ketimbang akal. Kendati ia bercirikan keterikatan yang mesra dengan adat dan alam seputarnya, ia lebih mengadat tanpa paksaan akal, sehingga ia seharusnya tidak lebih rendah daripada budaya zaman ini, yang lebih gontok-gontokan lewat akal dan budi. Secara analogi dapat dikatakan bahwa kepercayaan asli Masyarakat Keo merupakan agama kodrati. Sebagai konsekuensi lanjut, maka Yang Maha Tinggi suku-suku Keo adalah Tuhan. (Ozias Fernandez, 1990).

2.6.Hasil-hasil  Penelitian yang Relevan
            Terdapat sejumlah hasil penelitian terdahulu yang mengkaji tentang Nilai-Nilai Budaya Lokal. Hasil-hasil penelitian tersebut amat membantu dan memudahkan peneliti untuk menemukan ruang atau posisi yang belum banyak dikaji sebelumnya (state of the art) khususnya mengenai nilai-nilai buidaya rumah adat. Peta hasi-hasil penelitian terdahulu tersebut dapat diuraikan secara garis besar sebagai berikut.  (1). Penelitian dari Lourentius Dyson di Tanjung Isui di Kabupaten Kutai Kalimantan Timur, yang pada intinya memperoleh sejumlah temuan yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai  berikut  : Penelitian Disertasi Lorentius Dyson P. tahun 1995, dalam rangka disertasi  Program Doktor Universitas Airlangga dengan judul  Perubahan Budaya di Daerah Tujuan Wisata Tanjung Isuy Kabupaten Kutai Kalimantan Timur dan permasalahannya. (2). Penelitian yang dilakukan oleh Selo Soemardjan (1994). (3). Penelitian disertasi dari I Made Weni Tahun 1999, dalam rangka Program Doktor Universitas Airlangga dengan judul Fungsi Sabung Ayam dalam Kehidupan Masyarakat Hindu di Bali (Sebuah Kajian Tentang Refleksi dan Refraksi Theologi Hindu di Denpasar). (4). Penelitian disertasi Maria Veronica Roesminingsih, tentang Pelaksanaan Program Pembangunan Oleh Warga Desa dalam proses Transformasi Sosial di Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan. (5). Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Mubyarto (1991) mengenai Etos Kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat, yang mengangkat topik tentang  Etos Kerja dan Kohesi Sosial : Masyarakat Sumba, Rote, dan Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Dari sejumlah hasil penelitian terdahulu sebagaimana dikemukakan di atas, peneliti melihat bahwa belum ada kajian yang mencoba mendalami mengenai nilai-nilai budaya, fungsi, dan makna simbolik rumah adat  dalam konteks perubahan sosial. Penekanan terhadap budaya sebagai cara hidup terutama dalam kaitannya dengan dinamika kehidupan  masyarakatnya.




2.7. Teori-teori yang Terkait dengan Masalah Penelitian
2.7.1. Teori Perubahan Sosial
            Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Perubahan itu bisa dalam arti sempit, luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju atau berkembang baik perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan. Himes dan Moore (dalam Soelaiman, 1988) mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial : (1) Dimensi struktural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial; (2) Perubahan sosial dalam dimensi kultural mengacu kepada perubahan kebudayaan dalam masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (Ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan; (3) Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial dalam masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran, aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.

2.7.2.  Perubahan Sosial dan Kebudayaan
            Menurut Davis (dalam Soeryono Soekanto, 1997), perubahan sosial merupakan bagian dari kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu : kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya. Bahkan menurutnya perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial. Pada umumnya para ahli sosiologi lebih berpendapat bahwa perubahan sosial bertitik tolak dari perubahan kebudayaan dan timbul dari organisasi sosial serta mempengaruhinya. Ciri-ciri perubahan  sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri tertentu yang berkembang dalam masyarakat yakni : tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya, karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau cepat. Perubahan yang terjadi, pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara, perubahan-perubahan tidak dapat diatasi pada bidang kebendaan atau bidang spritual saja, karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan timbal balik yang sangat kuat. Perubahan sosial dan kebudayaan dapat terjadi melalui beberapa bentuk yakni : Perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat, perubahan yang terjadi dalam skala kecil dan dalam skala besar, perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang tidak dikehendaki (unintended change). Perubahan yang direncanakan (planned change) dan perubahan yang tidak direncanakan (uplanned change).

2.7.3.  Perubahan Sosial Menurut Perspektif Fungsional
Banyak  defenisi tentang perubahan sosial dilahirkan oleh sejumlah  peneliti dengan berbagai perbedaan penekanan dan sudut pandang. Ada yang menyatakan perubahan sosial sebagai “perubahan penting struktur sosial”, yaitu pola perilaku dan interaksi, termasuk norma, nilai dan fenomena kultural (Moore, 1973). Melangkah dari perspektif Marx ke fungsional struktural berarti memasuki dunia yang sama sekali berbeda, yaitu dunia tanpa perubahan radikal. Perspektif ini mewakili salah satu perspektif utama dalam sosiologi, oleh karena itu perlu dilihat pandangannya mengenai perubahan. Ciri-ciri umum perspektif ini menurut Berghe (1967) adalah sebagai berikut : (1). Masyarakat harus dianalisis selaku keseluruhan, selaku sistem yang terdiri dari  bagian-bagian yang saling berhubungan. (2) Hubungan sebab dan akibatnya bersifat jamak dan timbal balik. (3). Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan keseimbangan dinamis, penyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem menimbulkan perubahan minimal di dalam sistem itu. (4). Integrasi sempurna tak pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan namun cenderung dinetralisir melalui institusionalisasi. (5). Perubahan pada dasarnya berlangsung secara lambat, lebih merupakan proses penyesuaian ketimbang perubahan revolusioner. (6). Perubahan adalah hasil penyesuaian atas perubahan yang terjadi di luar sistem, pertumbuhan melalui diferensiasi dan melalui penemuan-penemuan internal. (7). Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai bersama. Ciri-ciri umum ini akan muncul kembali dalam pandangan Parson dan Smelser. Menurut Parson mula-mula berpendapat perubahan sosial harus dimulai dengan struktur sosial dengan analisis struktural lebih diutamakan dari analisis proses perubahan. Perubahan hanya dapat dipahami melalui pemahaman struktur terlebih dahulu, utamanya sifat struktur yang menjadi landasan penting perubahan sosial itu. Sistem adalah dua unit atau lebih yang berinteraksi. Unit-unit itu berupa aspek psikologis kelompok. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sosial dapat muncul dari dalam (factor endogen) dan faktor luar (factor exogen). Faktor eksogen dari perubahan adalah faktor yang muncul dari sistem sosial lain. Faktor endogen dihasilkan dari ketegangan internal yang seimbang antara input dan output di antara beberapa sub sistem. Ketegangan berarti hubungan antara dua sub sistem atau lebih berada di bawah tekanan untuk berubah, dan berubah menurut cara yang tak sesuai dengan keseimbangan sistem. Menurut Smelser, faktor-faktor yang menentukan perubahan sosial (1). Keadaan struktural untuk berubah (2). Dorongan untuk berubah (3). Mobilisasi untuk berubah (4). Pelaksanaan kontrol sosial (Parsons et al, 1964).

2.7.4.  Perubahan Sosial Sebagai Bentuk Transformasi
Banyak defenisi tentang perubahan sosial dilahirkan oleh berbagai peneliti dengan berbagai perbedaan penekanan dan sudut pandang. Ada yang menyatakan perubahan sosial sebagai perubahan penting struktur sosial yaitu pola perilaku dan interaksi, termasuk norma, nilai dan fenomena kultural (Moore, 1973). Pembahasan tentang perubahan sosial dapat diuraikan dari dua sudut pandang yaitu : (1) dari prosesnya dan (2) sudut pandang teoritik. Dari lingkup teori, perubahan sosial pada awalnya masuk dalam teori besar (grant theory), bersifat makro yang ditandai oleh bahasan tentang kapitalisme. Pada perkembangan berikutnya teori sosiologi tentang perubahan sosial terutama teori di abad 19 dapat dibagi menjadi teori evolusi sosial dan teori revolusi. Namun kecenderungan sosiologi pada abad ke 20 mengacu pada teori madya (middle theories) yang lebih operasional dalam memperhitungkan perkembangan dan pembangunan institusi tertentu, kelompok sosial, unsur budaya atau kepercayaan tertentu, karena membicarakan transformasi masyarakat secara keseluruhan adalah kajian yang amat luas.

2.7.5.  Fungsionalisme dalam Studi Sosial
            Perspektif ini menemukan dirinya sebagai fungsionalisme struktural yang fokus utamanya terhadap persyaratan fungsional atau kebutuhan dari suatu sistem sosial yang harus dipenuhi apabila sistem tersebut survive dan menghubungkannya dengan struktur. Sesuai dengan pandangan tersebut, suatu sistem sosial cenderung menampilkan tugas-tugas tertentu yang diperlukan untuk mempertahankan hidupnya dan analisis sosiologi mencakup usaha untuk menemukan struktur sosial yang dapat  melaksanakan tugas-tugas tersebut atau yang dapat memenuhi kebutuhan sistem sosial tersebut. Dalam hal ini Parsons dan Merton dianggap sebagai structural functionalist perspektif (Perspective functionalism) karena dua alasan, yaitu (1) menjelaskan hubungan functionalis dengan para pendahulunya, terutama Durkheim, Brown dan Malinowski; (2) tokoh aliran ini menyebutkannya dengan istilah fungsionalisme.
            Fungsionalisme modern bersumber dari Comte, Spencer, Pareto, Durkheim dan ahli antropologi seperti Radcliffe, Brown dan Malinowski. Comte, pencer dan Pareto menekankan pada hubungan interdependen antara bagian-bagian dalam sistem sosial. Durkheim menekankan pada integrasi dan solidaritas. Comte mengatakan bahwa terdapat hubungan ketergantungan antara bagian-bagian dalam sistem sosial. Bilamana hubungan keharmonisan antara keseluruhan dan bagian-bagian tersebut terganggu, maka sistem tersebut mengalami suatu keadaan patologis. Spencer mengemukakan konsep tentang diferensiasi, yaitu hubungan saling mempengaruhi antara bagian-bagian yang berbeda dari suatu sistem yang disebabkan oleh semakin meluasnya atau semakin kompleknya suatu masyarakat. Pareto menyatakan bahwa inti dari sistem sosial adalah individu-individu dengan keinginannya, dorongan dan perasaannya. Ia menguraikan ketergantungan diantara bagian-bagian dalam suatu sistem dan banyak dipinjam oleh Parsons untuk menerangkan keseimbangan dinamis yang menghasilkan keharmonisan sistem. Durkheim memberikan contoh yang jelas tentang hubungan fungsional antara hukuman dan collective sentiments atau share values. Hukuman tidak hanya mempunyai fungsi untuk mengurangi kejahatan tetapi juga mempunyai fungsi untuk memelihara collective sentiments tadi. Hukuman itu ada karena fungsi yang harus dilaksanakan untuk mempertahankan collective sentiment dan sebaliknya menyebabkan hukuman.

2.7.6. Makna Sosial
            Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu karena peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah laku manusia memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut : (1) Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna barang-barang (semua yang ditemui dan dialami, semua unsur kehidupan di dunia ini (2) Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang (3) Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang tersebut sebelum ia bisa bertindak sesuai dengan makna barang-barang tersebut. Atas dasar aspek-aspek  pokok di atas, interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul saling mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila mau membentuk tindakan sendiri           ( Schlegel, 1977 ). Blummer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain dan disempurnakan pada saat proses interaksi sosial berlangsung (Poloma, 1992). Makna dari sesuatu berasal cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu dengan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan menghancurkan aturan-aturan, dan struktur sosial sebagai hasil interaksi seseorang yang terlebih dahulu diberi pengertian atas tindakan tersebut. Ini berarti interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, penafsiran oleh kepastian makna tindakan orang lain.
             
2.7.7.  Teori Interaksionis  Simbolik
            Pada dasarnya teori mengenai interaksionis simbolik merupakan tradisi keilmuan yang berkembang bi bidang psikologi. Dalam pandangan Cooley (dalam Poloma,1994), imajinasi yang dimiliki manusia merupakan fakta masyarakat yang solid dan berfungsi sebagai suatu warisan realitas dalam dunia subjektif. Menurut pemikiran Blummer (dalam Poloma, 1994), interaksionis simbolik selalu mengarah kepada tiga premis utama, yakni : (a) manusia yang bertindak terhadap sesuatu selalu berdasarkan pada makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka sendiri (b). Makna tersebut senantiasa berasal dari interaksi sosial dari seseorang dengan orang lain dan (c) makna-makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi sosial itu berlangsung.  Menurut Blumer (dalam Irving, 1996), interaksi simbolik itu merupakan karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respons aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan pada penilaian makna tersebut.
            Di dalam tulisan ini, perlunya penggunaan teori interaksi simbolik adalah dalam rangka untuk lebih memberikan penekanan pada pemahaman terhadap tindakan seseorang, yakni masyarakat adat Keo di desa  Lajawajo yang bisa dipelajari dengan menggunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui lebih jauh mengenai hal-hal yang melatarbelakangi tindakan tersebut dari sudut pelakunya. Dalam  pemahaman tindakan ini tidak dapat dilakukan tanpa mengetahui simbol yang dipakai pelaku untuk dapat melukiskan tingkah lakunya sendiri. Bila dikaji lebih jauh, data yang ingin diperoleh dapat diketahui pada tingkat pemikiran dan tindakan setiap individu. Studi mengenai hubungan subjektif atau seakan-akan mengalami sendiri (vicarious experience). Untuk memahami tindakan orang lain juga diperlukan simpati imajinatif.

2.7.8. Akulturasi dan Asimilasi
2.7.8.1. Akulturasi
            Akulturasi atau acculturation atau culture contac, mempunyai berbagai arti di antara para sarjana antropologi, tetapi semua sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Terbukti bahwa tidak pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu, seperti termaksud dalam contoh tentang penyebaran mobil yang selalu berpindah-pindah sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisah-pisahkan (Lewis, 1953).

2.7.8.2.  Asimilasi
            Asimilasi atau assimilation adalah proses sosial yang timbul bila ada : (1) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda; (2) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga (3) kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini golongan-golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari unsur-unsur kebudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas (Lewis, 1953).
           
2.8.   Kerangka Konseptual
            Terkait dengan masalah penelitian ini maka setiap orang memberikan defenisi atau makna yang berbeda tentang interaksi sosial masyarakat. Dalam hal ini akan diungkapkan apa makna interaksi sosial masyarakat Keo khususnya pemahaman perubahan budaya sehingga mereka dapat memaknainya. Asumsi-asumsi teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Blummer akan diperhatikan dalam pelaksanaan penelitian di lapangan khususnya dalam memahami makna interaksi sosial Masyarakat Keo. Untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai alur penelitian ini dibawah ini digambarkan kerangka konseptual yang dapat menjelaskan memgenai keterkaitan teori-teori yang relevan, keberadaan adat istiadat, tari-tarian, seni dan religi serta kebijakan pemerintah daerah terhadap pembangunan.
Secara Konseptual Kerangka Penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :