BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Dalam menghadapi perubahan sosial,
selalu terjadi dinamika serta fenomena di dalam perilaku anggota masyarakat, dan
hal tersebut tampak ketika beradaptasi dengan lingkungannya. Keadaan yang sama juga
dialami masyarakat Keo di desa Lajawajo, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Ngadha,
Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur, sebagai wilayah penelitian ini. Peneliti
memberikan perhatian terhadap nilai-nilai budaya, fungsi, dan makna simbolik rumah
adat masyarakat Keo. Kajian terhadap rumah adat tersebut akan dilihat dalam
konteks perubahan masyarakatnya, dengan memberikan penekanan pada respons dan
adaptasi terhadap adanya perubahan. Fenomena perubahan sosial akan dihubungkan
antara warisan nilai-nilai budaya rumah adat dengan realitas kehidupan
masyarakat desa Lajawajo saat ini. Peneliti tertarik melakukan pengkajian
mengenai nilai-nilai budaya rumah adat, fungsi, dan makna simboliknya dalam
konteks perubahan sosial tersebut, mengingat penelitian yang memberi fokus terhadap
hal tersebut belum banyak dilakukan peneliti sebelumnya.
Peneliti mengamati keterkaitan
antara nilai-nilai budaya rumah adat, fungsi dan makna simboliknya dengan realitas perubahan sosial yang ikut
menentukan terhadap preferensi dan kelangsungan hidup masyarakat setempat. Hal ini
dapat dimaklumi oleh karena rumah adat bagi masyarakat Keo, merupakan rangkaian
menyeluruh, sebagai pusat kegiatan masyarakatnya dan bahkan sebagai centrum segala kegiatan masyarakat. Bagi Masyarakat
Keo, segala bentuk kegiatan di lingkungan rumah adat, amat berpengaruh terhadap
kehidupan mereka sehari-hari, di dalam bertindak. Masyarakat setempat amat
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya rumah adat serta kegiatan yang terkait
dengannya. Pengamatan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa di dalam
mendirikan rumah adat, biasanya diikuti oleh serangkaian kegiatan pesta adat, yang
biasanya diselenggarakan adalah ketika membangun rumah induk atau rumah adat (sao pu’u) yang dibangun di tengah-tengah
kampung dan menjadi simbol persatuan, kerukunan dan kebersamaan serta penancapan tugu di tengah kampung adat, yang dikenal dengan nama ngadhu bhaga atau peo, Oleh karena rumah
induk atau sa’o pu’u merupakan pusat
segala kegiatan masyarakat dan bahkan yang mengatur segala aktivitasnya, maka dalam
membangun rumah adat (sao pu’u) Dari
sinilah tercermin berbagai nilai yang tercakup dalam nilai-nilai budaya, fungsi
dan makna simboliknya. Berkenaan dengan nilai-nilai budaya rumah adat, fungsi
dan makna simboliknya serta proses perubahan sosial, sedikit demi sedikit ditemui
telah terjadi perubahan dalam tatanan masyarakat setempat termasuk di dalam sistem
pertaniannya. Dengan dasar dan pertimbangan itulah, yang mendorong peneliti untuk melakukan kajian
dan mengungkap Nilai-Nilai Budaya, Fungsi, dan Makna Simbolik Rumah Adat Keo di
desa Lajawajo, dalam Konteks Perubahan Masyarakat Keo pada umumnya. Peneliti mengkaji
nilai-nilai budaya, fungsi dan makna simbolik rumah adat, dimana kajian ini akan
memberikan sejumlah jawaban sebagai temuan atau hasil dari penelitian ini.
Berdasarkan latar belakang dan fenomena sebagaimana diuraikan di atas, maka peneliti
mengangkat topik yang bertujuan dengan
judul : Nilai-Nilai Budaya, Fungsi, dan
Makna Simbolik Rumah Adat Keo, Dalam Konteks Perubahan Masyarakat di desa
Lajawajo Kecamatan Mauponggo Kabupaten Ngadha,-Flores-Propinsi Nusa Tenggara
Timur-NTT).
1.2. Fokus Penelitian.
Berdasarkan uraian serta latar
belakang tersebut di atas, maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah :
1.2.1.
Nilai-Nilai Budaya Rumah Adat Keo yang mencakup : Nilai
Pengayoman/Perlindungan, Nilai Kebersamaan, Nilai Gotong Royong, Nilai Religi,
Nilai Kesucian, Nilai Kepemimpinan, Nilai Kejujuran, Nilai Seni, dan Nilai
Perdamaian
1.2.2. Fungsi
Rumah Adat yang mencakup : Sebagai Tempat Tinggal, Tempat Menyelesaikan
Masalah, Media Pemersatu, dan melakukan Pengadilan Adat.
1.2.3. Makna Simbolik Rumah Adat keo, yang mencakup :
Sebagai Simbol Kepemimpinan, Simbol Kesaktian, Simbol Kekuasaan, Simbol
Kemakmuran, Simbol Perjuangan, dan Simbol Kesucian.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan
untuk mengungkap dan mendeskripsikan Nilai-Nilai Budaya, Fungsi, dan Makna
Simbolik Rumah Adat Keo di desa Lajawajo, Kecamatan Mauponggo di Kabupaten Ngadha,
Flores, Nusa Tenggara Timur.
1.3.2.
Tujuan Khusus
Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk
menganalisis dan mendeskripsikan :
1.3.2.1. Nilai-Nilai
Budaya Rumah Adat Keo di desa Lajawajo Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Ngadha
Nusa Tenggara Timur, yang mencakup : Nilai Pengayoman/Perlindungan, Nilai
Kebersamaan, Nilai Gotong Royong, Nilai Religi, Nilai Kesucian, Nilai
Kepemimpinan, Nilai Kejujuran, Nilai Seni, dan Nilai Perdamaian.
1.3.2.2. Fungsi
Rumah Adat Keo yang mencakup : Sebagai tempat tinggal, tempat menyelesaikan
masalah, media pemersatu, dan melakukan pengadilan adat.
1.3.2.3. Makna
Simbolik Rumah Adat Keo, yang mencakup sebagai Simbol Kepemimpinan, Simbol
Kesaktian, Simbol Kekuasaan, Simbol Kemakmuran, Simbol Perjuangan, dan Simbol
Kesucian.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi kepentingan akademik sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu sosial
pada umumnya guna memahami perubahan pergeseran makna dan nilai rumah adat Keo
di desa Lajawajo pada khususnya.
1.4.2. Hasil penelitian ini diharapkan
bermanfaat secara praktis untuk memahami arti Nilai-Nilai Budaya Rumah Adat,
Fungsi Rumah Adat Keo, dan Makna Simbolik dalam kehidupan masyarakat Keo di
desa Lajawajo Kecamatan Mauponggo Kabupaten Ngadha, Nusa Tenggara Timur. Di
samping itu, diharapkan dapat memberikan masukan bagi instansi terkait dalam
mengambil tindakan kebijaksanaan serta merumuskan perencanaan dalam mengambil
tindakan untuk membina dan memperkaya kebudayaan nasional.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Kebudayaan
Sebagai Cara Hidup
Kebudayaan menurut
Koentjaraningrat (1986) dideskripsikan sebagai keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
kebudayaan dapat dibedakan dalam tiga wujud yakni : (1) wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan
(2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola oleh
manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Sehubungan dengan pemahaman
terhadap tingkah laku manusia, James P. Spradley (1972) menyatakan bahwa di dalam
bertindak, setiap individu memiliki seperangkat aturan-aturan (set of rules) yang dipakai sebagai
pegangan untuk menginterpretasi gejala-gejala yang ada dalam lingkungannya dan
menjadi pegangan bagi mewujudkan kelakuan-kelakuan.
Adapun ciri-ciri dari
aturan-aturan yang menjadi pegangan dalam mewujudkan tindakan tersebut adalah
sebagai berikut : (a) Instruksi-instruksi untuk bertingkah laku tertentu
(berkelakuan tertentu), aturan-aturan tersebut merupakan pegangan bagi
pelakunya untuk berkelakuan tertentu dalam situasi tertentu pula. (b). Aturan-aturan
mempunyai pusatnya di pemikiran sebagai elemen-elemen pengetahuan manusia,
aturan-aturan ini ada pada individu dan bukan pada masyarakat. (c). Aturan-aturan
dipelajari melalui komunikasi simbolik dengan menyimpulkan dari kelakuan. Misalnya
antara guru dan murid melalui simbol-simbol inferensi. Manusia cenderung
meramalkan apa yang akan dilakukan yang diwujudkan ia mengharapkan tanggapan
yang sesuai dengan apa yang diinginkannya. (d) Aturan-aturan yang dipakai pada
tingkat yang berbeda, yang menentukan pengaruh-pengaruh atau akibat-akibat yang
berbeda-beda pada kelakuan. Tingkat-tingkat yang berbeda pada nilai-nilai yaitu
etos dan pandangan hidup, dan ada pula aturan yang pragmatis
Walter
Goldschmidt (1990) menyebutkan bahwa untuk memahami perilaku manusia fokus dan perhatian
hendaknya lebih ditujukan kepada kemampuan individu sepanjang hidupnya berbuat
untuk tujuan tertentu dan dengan motivasi tertentu pula. Setiap orang memiliki
perbedaan dalam hal sifat, kemampuan fisik serta mental. Setiap orang memiliki
motivasi, dorongan internal yang menuntunnya ke arah suatu tindakan atau
perbuatan tertentu. Suatu sistem sosial cenderung menampilkan tugas-tugas
tertentu yang diperlukan untuk mempertahankan hidupnya dan analisis sosiologi
mencakup usaha untuk menemukan struktur sosial yang dapat melaksanakan
tugas-tugas tersebut atau memenuhi kebutuhan sistem sosial tersebut. Struktur
atau lembaga sosial yang ada sekarang secara inheren fungsional bagi
masyarakat. Birokrasi yang berlebihan bisa menjadi disfungsi bagi masyarakat,
karena kekacauan terhadap peraturan dan akan sangat mengganggu kebebasan
individu. Tipologi masyarakat dapat dibedakan menjadi masyarakat tradisional
dan masyarakat modern. Komunitas ditandai dengan ikatan hubungan pribadi sangat
menonjol atau hubungan kekerabatan, sedangkan masyarakat ditandai oleh hubungan
yang sifatnya inpersonal atau relasi-relasi tipe bisnis. Manusia sebagai makluk
sosial selalu hidup berkelompok dan mempunyai kepentingan yang merupakan
tuntutan perorangan maupun kelompok untuk dapat dipenuhi. Dalam kehidupan
kelompok kebersamaan dan persatuan merupakan landasan utamanya dalam mencapai
tujuan maupun kebutuhan kelompok yang diwujudkan melalui struktur, kedudukan
anggota dan adanya pembagian tugas. Perubahan pada setiap tingkat kehidupan
sosial dianggap sebagai perubahan sosial. Sehingga penelitian pada Masyarakat
Keo, Desa Lajawajo dapat dipusatkan pada
arah dan tingkat perubahan di berbagai tingkat dan hubungan antar perubahan di
berbagai tingkat yang berbeda. Perubahan sosial sebagai proses perkembangan
akan menimbulkan perbedaan struktur dan fungsi masyarakat selalu saling
terkait.
2.2.
Konsepsi Mengenai Budaya
2.2.1. Definisi Budaya
Defenisi klasik tentang budaya
yang lebih sering dikutip adalah yang diajukan Edward Taylor (1871), yang
menyatakan budaya merupakan kompleks menyeluruh yang didalamnya termasuk
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, serta setiap
kesanggupan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat
(Richter Jr, 1987; Horton dan Hunt, 1968; Keesing. 1981). Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa ia merupakan keseluruhan aspek dari cara hidup suatu masyarakat
itu sendiri (Richter, 1987) ia merupakan segala sesuatu yang
diperoleh dalam masyarakat melalui belajar dan saling berbagi dengan sesama
warga masyarakat (Horton et al,
1968), ia merupakan akumulasi hasil
belajar dan pengalaman umat manusia di suatu masyarakat (Keesing, 1981), ia bisa disebut sebagai keseluruhan
warisan sosial suatu masyarakat, yang merupakan rancangan lengkap untuk hidup
mereka (Broom et al, 1957), ia adalah keseluruhan cara hidup yang
melembaga dalam suatu masyarakat (Betrand,
1967; Ballantine, 1985). Hal senada
juga dikemukakan Thompson (1990), yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah : (1)
keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, (2) warisan sosial yang diperoleh
individu dari kelompoknya (3) suatu cara berpikir, merasa, dan percaya, (4) suatu
abstraksi dari tingkah laku (5) suatu teori tentang cara suatu kelompok
masyarakat bertingkah laku (6) suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar
(7) seperangkat orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung, (8)
tingkah laku yang dipelajari (9) suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku
yang bersifat normati (10) seperangkat teknik untuk menyesuaikan baik dengan
lingkungan luar maupun dengan orang lain (11) suatu endapan sejarah (Kluckholn
dalam Geertz, 1992). Lebih jauh kebudayaan juga merupakan perpaduan antara social relation dan kultural bias.
2.2.2. Wujud dan Unsur Kebudayaan.
Budaya sebagai keseluruhan cara
hidup mencerminkan kesepakatan tentang norma, nilai dan kepercayaan yang
membuat memungkinkannya suatu masyarakat untuk hidup bersama secara relatif
harmonis (Babbie, 1982), ia mencakup idea dan praktik yang disetujui dan
dilakukan oleh kebanyakan warga masyarakat tentang bagaimana mereka merespons
kondisi alam maupun sosial yang dihadapinya (Richter, 1987). Dalam memandang
budaya sebagai pola hidup secara khusus berkenaan dengan pandangan terhadap
kerja. Pola tersebut sering disebut sebagai budaya kerja. Geertz (1973)
menyatakan bahwa budaya kerja sebagai suatu kekayaan rohaniah berupa sikap
mendasar terhadap “diri dan dunia” yang terpancar dalam kehidupan sehari-hari.
Kajian tentang budaya lebih difokuskan pada budaya hidup sehari-hari merupakan
pola untuk hidup. Unsur-unsur kebudayaan yakni keseluruhan dari tindakan
manusia yang berpola berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang amat banyak
jumlahnya; dengan demikian sebenarnya suatu masyarakat yang luas selalu dapat
kita perinci ke dalam pranata-pranata yang khusus. Sejajar dengan itu suatu kebudayaan yang luas selalu
dapat pula kita rinci ke dalam unsur-unsurnya yang khusus. C. Kluckhohn dalam
sebuah karangan berjudul Universal
Categories of Culture (1953) mengambil sari dari berbagai kerangka tentang
unsur-unsur kebudayaan universal yang ditemukan pada semua bangsa di dunia.
Ketujuh unsur yang dapat kita lihat sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di
dunia itu adalah : (1) Bahasa, (2) Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi Sosial,
(4) Sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) Sistem mata pencaharian hidup,
(6) sistem religi, (7) Kesenian. Tiap-tiap unsur kebudayaan universal sudah
tentu juga menjelma dalam ketiga wujud kebudayaan yaitu wujudnya yang berupa
sistem budaya, yang berupa sistem sosial, dan yang berupa unsur-unsur
kebudayaan fisik. Dengan demikian sistem ekonomi misalnya memiliki wujudnya
seperti konsep-konsep, rencana-rencana, kebijaksanaan, adat-istiadat yang
berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujud berupa
tindakan-tindakan dan interaksi berpola antara produsen, tengkulak, pedagang,
ahli transport, pengecer dengan konsumen, dan kecuali itu dalam sistem ekonomi
terdapat juga unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda
ekonomi. Demikian juga sistem religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai sistem
keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka,
surga dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa
upacara-upacara, baik yang bersifat musiman maupun yang kadangkala, dan kecuali
itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-benda suci dan
benda-benda religius. Tiap unsur
kebudayaan universal dapat diperinci ke dalam unsur-unsurnya yang lebih
kecil sampai beberapa kali. Dengan mengikuti metode pemerincian dari seorang
ahli antropologi bernama R. Linton, maka pemerincian itu akan kita lakukan
sampai empat kali. Karena serupa dengan kebudayaan dalam keseluruhan, tiap
unsur kebudayaan universal juga mempunyai tiga wujud, yaitu wujud sistem
budaya, wujud sistem sosial, dan wujud kebudayaan fisik.
2.2.3. Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat
Di
dalam kehidupan masyarakat terjadi dinamika hubungan satu sama lain yang
ditentukan oleh kekuatan pengikatnya dan dikenal dengan nilai-nilai atau norma.
Koentjoroningrat (1997), menjelaskan untuk dapat membedakan kekuatan pengikat
dalam masyarakat tersebut, secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian,
yakni : Cara (usage) , yakni kebiasaan seseorang yang disengaja atau tidak
dianggap lumrah untuk dirinya, tetapi menjadi tidak lumrah untuk orang lain.
Penyimpangan terhadap kebiasaan semacam ini hanya terletak pada kesantunan atau
tidak. Demikian juga dengan kebiasaan (folksway),
yang menurut Mac Iver and Page (1967)
merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat, misalnya kebiasaan
menghormati orang yang lebih tua sudah merupakan kebiasaan yang dihormati.
Nilai-nilai sosial tata kelakuan (mores)
kebiasaan yang hidup dalam interaksi manusia, yang dijaga dan dilindungi, bahkan
dia menjadi alat pengawas atau kontrol dalam masyarakat. Kemudian adat istiadat (custom). Merupakan tata kelakuan yang sudah kuat atau baku serta
terintegral dengan pola-pola hidup masyarakat, bila terjadi penyimpangan dari
adat istiadat tersebut, maka akan menimbulkan rasa sakit atau lain sebagainya. Menurut
Nottingham (1994), hubungan antara konsepsi masyarakat tentang yang sakral dan
nilai-nilai moral kelompok bisa merupakan kekuatan pengikat dan nilai yang
dilindungi dalam masyarakat. Menurutnya
hal tersebut lebih banyak ditemui pada interaksi manusia dengan agamanya
masing-masing.
Di
dalam kehidupan Masyarakat Keo, nilai-nilai budaya dalam wujud cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat
istiadat, pada umumnya masih berkembang secara baik dan dalam beberapa hal
nilai-nilai tersebut masih dilindungi sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Kuatnya nilai-nilai budaya pada Masyarakat Keo dapat
membentuk kohesi sosial yang menjadi bagian sangat integral dalam masyarakat. Masyarakat Keo sebagai manusia saling berkomunikasi sebab dorongan adanya kebutuhan
akan hal-hal yang bersifat jasmani dan rohani, termasuk didalamnya hasrat akan
perlindungan, keamanan dan perdamaian. Jiwa kekerabatan sebagai salah satu
nilai budaya keo, sudah mendarah daging dalam masyarakat dan umumnya sifatnya
luas serta bertopang pada ikatan darah. Semuanya itu didasari oleh kebersamaan
yang sudah dibangun dalam lingkup rumah adat sebagai pusat dan yang mengatur
segala kegiatan masyarakatnya. Adanya ikatan ini mempertebal rasa solidaritas antara
mereka. Hal ini jelas tampak dalam pesta-pesta, dalam upacara-upacara adat atau
bila menghadapi bahaya yang mengancam suku, dan pada melaksanakan sesuatu bagi
kepentingan seseorang atau bersama.
Nilai budaya melalui rumah adat,
fungsi dan makna simboliknya, juga menonjol di dalam pola hidup sosial-kolektif.
Dalam hal ini di bidang pertanian misalnya, ada banyak tanah garapan adalah
milik suku, walau di zaman ini sistem serupa itu agaknya semakin berkurang
tersebab meningkatnya penduduk dan karena setiap keluarga, ingin mempunyai
tanah garapan sendiri. Tetapi milik bersama atas tanahlah yang mendorong rasa
persatuan dan keterikatan dalam masyarakat. Banyak tanah pertanian masyarakat
Keo terdiri dari gunung-gunung dan bukit-bukit yang terjal. Sebagian tanah
dipakai untuk perladangan, meski gersang dan kering. Segala-galanya dilakukan
dalam semangat gotong-royong. Kerja sama sangat dibutuhkan dalam menggarap
tanah ladang. Struktur perkampungan juga membangkitkan pemikiran dan perasaan
sosial kolektif. Kesatuan sosial yang bersumber pada keterikatan wilayah atau
kampung asal terutama tetangga, menyebabkan ikatan wilayah atau kampong asal
terutama tetangga, menyebabkan orang secara sadar atau tidak merasa akrab serta
saling berbagi rasa. Pesta-pesta adat yang begitu banyak, menuntut pengorbanan
material dan moril, memungkinkan masyarakatnya berpikir sosial kolektif. Namun
Masyarakat Keo sekarang lebih berpikir ekonomis dan individualistis, sehingga
tradisi agak tergoncang. Syukurlah bahwa kelabilan adat resam belum begitu
dirasakan, karena cara berpikir sosial kolektif telah berurat akar dalam tubuh
masyarakat Keo. Selain itu, nilai-nilai
budaya pada masyarakat Keo dapat membentuk
pemikiran dan perasaan sosial kolektif terutama berdasarkan ikatan kekeluargaan
dan kesukuan. Oleh perkawinan maka ikatan kebatinan semakin meluas.
2.3. Konsepsi
Mengenai Masyarakat
2.3.1. Definisi
Masyarakat
Adanya bermacam-macam wujud
kesatuan kolektif manusia menyebabkan bahwa kita memerlukan beberapa istilah
untuk membeda-bedakan berbagai macam kesatuan masyarakat. Kesatuan-kesatuan
khusus yang merupakan unsur-unsur dari
masyarakat, yaitu (1) kategori sosial, (2) golongan sosial, (3) komunitas, (4)
kelompok, (5) dan perkumpulan. Kelima istilah sebutan itu beserta konsepnya,
syarat-syarat pengikatnya, serta ciri-cirinya berbeda antara yang satu dengan
lainnya. Masyarakat adalah kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan
ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Dalam bahasa inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah
masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah,
saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui
apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modern misalnya,
merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkin para
warganya untuk berinteraksi secara intensif, dan dengan frekuensi yang tinggi.
Adanya prasarana untuk berinteraksi memang menyebabkan bahwa warga dari suatu
kolektif manusia akan saling berinteraksi; sebaliknya, adanya hanya suatu
potensi untuk berinteraksi saja belum berarti bahwa warga dari suatu kesatuan
manusia itu benar-benar akan berinteraksi. Suatu suku bangsa, misalnya saja Suku
Keo, mempunyai potensi untuk berinteraksi, yaitu Bahasa Keo, namun adanya
potensi itu saja tidak akan menyebabkan
bahwa semua Orang Keo tanpa alasan mengembangkan aktivitas-aktivitas yang
menyebabkan suatu interaksi secara intensif di antara semua Orang Keo.
Hendaknya diperhatikan bahwa
tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu merupakan
masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang
khusus. Sekumpulan orang yang mengerumuni seorang tukang penjual jamu di
pinggir jalan biasanya tidak kita anggap sebagai suatu masyarakat, karena
meskipun kadang-kadang mereka juga berinteraksi secara terbatas, mereka tidak mempunyai
suatu ikatan lain kecuali ikatan berupa perhatian terhadap penjual jamu tadi. Ikatan
apa yang membuat suatu kesatuan manusia itu menjadi suatu masyarakat ?. Yaitu
pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas
kesatuan itu. Lagipula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinyu; dengan
perkataan lain, pola khas itu harus sudah menjadi adat-istiadat yang khas
(Geertz, 1973). Ikatan adat-istiadat
khas dalam suatu masyarakat meliputi sektor kehidupan serta suatu kontinuitas
dalam waktu, suatu masyarakat manusia harus juga mempunyai ciri lain, yaitu
suatu rasa identitas diantara para warga atau anggotanya, bahwa mereka memang
merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia
lainnya. Dengan demikian defenisi masyarakat secara khusus dapat kita rumuskan
sebagai berikut : Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang
terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Gillin, 1954) Menurut Djojodigoeno,
masyarakat Indonesia sebagai contoh suatu masyarakat dalam arti luas, tetapi
misalnya masyarakat dari suatu desa atau kota tertentu, masyarakat yang terdiri
dari warga suatu kelompok kekerabatan seperti dadia, marga, atau suku, kita
anggap sebagai contoh dari suatu masyarakat dalam arti yang sempit. Kesatuan
wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas, dan rasa loyalitas
terhadap komunitas sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas, dan pangkal
dari suatu perasaan seperti patriotisme, nasionalisme dan sebagainya, yang
biasanya bersangkutan dengan negara. Suatu negara merupakan wujud dari suatu
komunitas yang paling besar. Sebagai suatu kesatuan hidup manusia, yang
menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat-istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.
(Rine-heart et al, 1973).
2.4. Adat Istiadat Pada Masyarakat Keo di Desa
Lajawajo
2.4.1.
Keberadaan Rumah Adat
Dalam mengkaji nilai-nilai budaya
dalam konteks perubahan Masyarakat Keo, perhatian utama ditujukan dalam hal-hal
yang tampak sangat menonjol seperti keberadaan rumah adat (Sao Pu’u). Rumah Adat (Sao Pu’u)
bagi Orang Keo pada masa lampau bukan saja sebagai tempat berteduh, tetapi
merupakan suatu kesatuan sosial dan sebagai pusat berbagai kegiatan yang
dilakukan anggota masyarakat. Rumah adat selain sebagai pusat kegiatan
sosialnya juga dikenal sebagai untuk mengatur semua kegiatan masyarakatnya
sesuai kebiasaan-kebiasaan yang telah disepakati bersama. Sehingga pada umumnya
rasa persatuan dan satu kesatuan Masyarakat Keo masa kini berasal dari
orang-orang atau generasi keturunannya yang mendiami rumah adat yang sama pada
masa yang silam. Pada Masyarakat Keo dalam satu kampung dapat dijumpai lebih
dari satu unit rumah adat. Di wilayah Kecamatan Mauponggo rumah adat dikenal
dengan nama Sa’o Waja atau Sa’o Pu’u,
tetapi setiap kelompok suku masyarakat menyebutnya dengan berbagai variasi
istilah sesuai dengan bahasa sukunya.
Kata Waja atau Pu’u mungkin sekali berasal dari Bahasa Keo. Pu’u yang berarti
sumber. Dalam rumah adat dihuni antara enam hingga sepuluh unit kepala
keluarga, dan tiap keluarga menempati satu bilik atau ruang sendiri. Rumah adat
memiliki ketinggian antara antara delapan hingga lima belas feet (4,5 meter) dari permukaan tanah dengan panjang dapat
mencapai kira-kira seratus feet (30
meter). Rumah-rumah adat ini setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia
kebanyakan sudah tidak terawat dan banyak yang hancur. Rusaknya rumah adat di
wilayah Masyarakat Keo sebagai akibat anjuran aparat pemerintah agar masyarakat
membangun rumah-rumah yang lebih kecil untuk kediaman unit kelompok umat basis
(nuclear family). Mulyono (1993)
melaporkan bahwa di Wilayah Flores Tengah pada tahun 1985 telah diterbitkan
peraturan agar warga masyarakat membangun rumah permanen untuk tempat tinggal
masing-masing keluarga.
2.4.2. Kesenian Pada Masyarakat Keo
Rumah
adat sebagai pusat semua kegiatan Masyarakat Keo, memiliki sistem nilai budaya,
pandangan hidup dan ideologi yang amat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Hal
itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai
apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat
mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup,
sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi
kepada kehidupan para warga masyarakat. Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi
sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu
nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru
karena sifatnya yang umum, luas dan konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam
suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu
yang menjadi warga dari kebudayaan bersangkutan. Kecuali itu, para individu itu
sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam
masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam
jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan tak
dapat diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat,
dengan cara mendiskusikannya secara rasional. Dalam tiap masyarakat, baik yang
kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan lain
berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari
konsep-konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah
kehidupan warga masyarakatnya.
Suatu
sistem nilai budaya sering juga berupa pandangan hidup atau world view bagi manusia yang menganutnya. Namun istilah ’pandangan hidup’
sebaiknya dipisahkan dari konsep sistem nilai budaya. Pandangan hidup itu
biasanya mengandung sebagian dari nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat, yang dipilih secara selektif oleh para individu dan
golongan-golongan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila “sistem nilai” itu
merupakan pedoman hidup yang dianut oleh sebagian besar warga masyarakat,
“pandangan hidup” itu merupakan suatu sistem pedoman yang dianut oleh
golongan-golongan atau lebih sempit lagi, individu-individu khusus dalam
masyarakat. Karena itu, hanya ada pandangan hidup golongan atau individu
tertentu, tetapi tidak ada pendangan hidup seluruh masyarakat.
2.5. Sistem Religi pada Masyarakat Keo di Desa
Lajawajo
Kehidupan dalam lingkup rumah
adat, mewariskan suatu konsepsi mengenai azas religi yang berorientasi kepada
sikap manusia dalam menghadapi dunia gaib atau hal yang gaib berasal dari ahli
teologi Rudolf Otto, yang diuraikannya dalam sebuah buku yang telah menarik
perhatian kalangan luas, berjudul Das Heilige (1917). Menurut Otto, semua
sistem religi, kepercayaan dan agama di dunia berpusat kepada suatu konsep tentang
hal yang gaib (mysterium) yang
dianggap maha dasyat (tremendum) dan
keramat (sacer) oleh manusia. Sifat
dari hal yang gaib serta keramat itu adalah maha-abadi, maha-dasyat, maha-baik,
maha-adil, maha-bijaksana, tak terlihat, tak berubah, tak terbatas, dan
sebagainya. Pokoknya, sifatnya pada azasnya sulit dilukiskan dengan bahasa
manusia mana pun juga, karena “hal yang gaib serta keramat” itu memang memiliki
sifat-sifat yang sebenarnya tak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal
manusia. Walaupun demikian, dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia,
“hal yang gaib dan keramat”, yang menimbulkan sikap kagum-terpesona, selalu
akan menarik perhatian manusia, dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati
rasa bersatu dengannya. Menurut Otto sistem religi dan masyarakat bersahaja
belum merupakan agama, tetapi hanya suatu tahap pendahuluan dari agama yang
sedang berkembang, di mana adanya suatu
unsur penting dalam tiap sistem religi, kepercayaan atau agama, yaitu suatu
emosi atau getaran jiwa yang sangat mendalam, yang disebabkan karena sikap
kagum-terpesona terhadap hal-hal yang gaib dan keramat.
Upacara religi atau agama, yang
biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi atau agama
yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan
solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada
menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan
sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya melakukannya
setengah-setengah saja. Motivasi mereka
tidak terutama untuk berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk
mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, tetapi juga karena mereka
menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial. Sistem ritus
dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam
melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau
makluk halus lain, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan
penghuni dunia gaib lainnya. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung
berulang-ulang, baik setiap hari, setiap musim, atau kadang-kadang. Tergantung
dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu
kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau beberapa tindakan, seperti : berdoa,
bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi,
berseni-drama suci, berpuasa intoxiaksi, bertapa dan bersamadi. Semua komponen
religi itu dalam fungsinya erat hubungannya satu dengan lain. Sistem keyakinan
menentukan acara ritus dan upacara ( Koenjaraningrat, 1982). Masyarakat Keo sudah dari mula adalah
insan beragama. Sebelum kedatangan Agama Kristen dan Islam, komunitas
tradisional Keo telah memiliki agama, yang dijuluki kepercayaan asli.
Kepercayaan ini bersama-sama dengan adat kebiasaan, dianggap sebagai dasar
kelanjutan suku. Pujaan leluhur atau hubungan dengan leluhur, di Keo dianggap
rupanya identitas dengan suku. Namun, bukanlah leluhur yang menjadi Allah
mereka. Setiap suku mempunyai nilai budaya masing-masing. Tetapi banyak
diantaranya saling bermiripan, bahkan ada pula yang sama. Maka untuk
mengidentifikasi budaya Keo, dibuatlah suatu riset terambil dari
komunitas-komunitas suku, menurut keadaannya yang konkret. Hasilnya ialah
tersuakan serangkuman nilai-nilai budaya tradisional yang khas bersifat :
sosial, harmonis, mitis, magis, takhyul, simbolis, etis, dan religius.
Sifat-sifat khas Masyarakat Keo ini sudah ada pada para leluhur yang kemudian
diwariskan turun-temurun. Dengan berpikir atau menghayati nilai-nilai
tradisional tersebut, tidaklah berarti bahwa masyarakatnya juga primitif
sebagai manusia purba, yang dunianya didominasi oleh perbuatan-perbuatan gaib
dan penuh rahasia serta lebih terselami oleh rasa ketimbang akal. Kendati ia
bercirikan keterikatan yang mesra dengan adat dan alam seputarnya, ia lebih
mengadat tanpa paksaan akal, sehingga ia seharusnya tidak lebih rendah daripada
budaya zaman ini, yang lebih gontok-gontokan lewat akal dan budi. Secara
analogi dapat dikatakan bahwa kepercayaan asli Masyarakat Keo merupakan agama
kodrati. Sebagai konsekuensi lanjut, maka Yang Maha Tinggi suku-suku Keo adalah
Tuhan. (Ozias Fernandez, 1990).
2.6.Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Terdapat sejumlah hasil penelitian terdahulu yang
mengkaji tentang Nilai-Nilai Budaya Lokal. Hasil-hasil penelitian tersebut amat
membantu dan memudahkan peneliti untuk menemukan ruang atau posisi yang belum
banyak dikaji sebelumnya (state of the
art) khususnya mengenai
nilai-nilai buidaya rumah adat. Peta
hasi-hasil penelitian terdahulu tersebut dapat diuraikan secara garis besar
sebagai berikut. (1). Penelitian dari
Lourentius Dyson di Tanjung Isui di Kabupaten Kutai Kalimantan Timur, yang pada
intinya memperoleh sejumlah temuan yang dapat dijelaskan secara singkat
sebagai berikut : Penelitian Disertasi Lorentius Dyson P. tahun
1995, dalam rangka disertasi Program
Doktor Universitas Airlangga dengan judul Perubahan Budaya di Daerah Tujuan Wisata
Tanjung Isuy Kabupaten Kutai Kalimantan Timur dan permasalahannya. (2). Penelitian yang
dilakukan oleh Selo Soemardjan (1994). (3).
Penelitian disertasi dari I Made Weni Tahun 1999, dalam rangka Program
Doktor Universitas Airlangga dengan judul Fungsi Sabung Ayam dalam Kehidupan
Masyarakat Hindu di Bali (Sebuah Kajian Tentang Refleksi dan Refraksi Theologi
Hindu di Denpasar). (4). Penelitian disertasi Maria Veronica Roesminingsih, tentang
Pelaksanaan Program Pembangunan Oleh Warga Desa dalam proses Transformasi
Sosial di Kecamatan Bluluk Kabupaten Lamongan. (5). Demikian juga dengan penelitian
yang dilakukan oleh Mubyarto (1991) mengenai Etos Kerja dan Kohesi Sosial
Masyarakat, yang mengangkat topik tentang
Etos Kerja dan Kohesi Sosial : Masyarakat Sumba, Rote, dan Timor Propinsi
Nusa Tenggara Timur.
Dari sejumlah hasil penelitian
terdahulu sebagaimana dikemukakan di atas, peneliti melihat bahwa belum ada
kajian yang mencoba mendalami mengenai nilai-nilai budaya, fungsi, dan makna
simbolik rumah adat dalam konteks perubahan
sosial. Penekanan terhadap budaya sebagai cara hidup terutama dalam kaitannya
dengan dinamika kehidupan masyarakatnya.
2.7.
Teori-teori yang Terkait dengan Masalah Penelitian
2.7.1. Teori Perubahan Sosial
Setiap masyarakat pasti mengalami
perubahan-perubahan sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Perubahan itu bisa
dalam arti sempit, luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam masyarakat pada
prinsipnya merupakan proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju atau
berkembang baik perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan. Himes dan Moore
(dalam Soelaiman, 1988) mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial : (1)
Dimensi struktural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk
struktur masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru,
perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial; (2)
Perubahan sosial dalam dimensi kultural mengacu kepada perubahan kebudayaan
dalam masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (Ilmu pengetahuan),
pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya
difusi dan peminjaman kebudayaan; (3) Perubahan sosial dalam dimensi
interaksional mengacu kepada perubahan hubungan sosial dalam masyarakat yang
berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran,
aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.
2.7.2. Perubahan Sosial dan Kebudayaan
Menurut
Davis (dalam Soeryono Soekanto, 1997), perubahan sosial merupakan bagian dari
kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu :
kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan seterusnya. Bahkan
menurutnya perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial.
Pada umumnya para ahli sosiologi lebih berpendapat bahwa perubahan sosial
bertitik tolak dari perubahan kebudayaan dan timbul dari organisasi sosial
serta mempengaruhinya. Ciri-ciri perubahan
sosial dapat diketahui dari adanya ciri-ciri tertentu yang berkembang
dalam masyarakat yakni : tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya,
karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau
cepat. Perubahan yang terjadi, pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan
diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya. Perubahan-perubahan
sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara,
perubahan-perubahan tidak dapat diatasi pada bidang kebendaan atau bidang
spritual saja, karena kedua bidang tersebut mempunyai kaitan timbal balik yang
sangat kuat. Perubahan sosial dan kebudayaan dapat terjadi melalui beberapa
bentuk yakni : Perubahan yang terjadi secara lambat dan cepat, perubahan yang
terjadi dalam skala kecil dan dalam skala besar, perubahan yang dikehendaki (intended change) atau perubahan yang
tidak dikehendaki (unintended change). Perubahan yang direncanakan (planned change) dan perubahan yang
tidak direncanakan (uplanned change).
2.7.3. Perubahan Sosial Menurut Perspektif
Fungsional
Banyak defenisi tentang perubahan sosial dilahirkan
oleh sejumlah peneliti dengan berbagai
perbedaan penekanan dan sudut pandang. Ada yang menyatakan perubahan sosial
sebagai “perubahan penting struktur sosial”, yaitu pola perilaku dan interaksi,
termasuk norma, nilai dan fenomena kultural (Moore, 1973). Melangkah dari
perspektif Marx ke fungsional struktural berarti memasuki dunia yang sama
sekali berbeda, yaitu dunia tanpa perubahan radikal. Perspektif ini mewakili
salah satu perspektif utama dalam sosiologi, oleh karena itu perlu dilihat
pandangannya mengenai perubahan. Ciri-ciri umum perspektif ini menurut Berghe
(1967) adalah sebagai berikut : (1). Masyarakat harus dianalisis selaku
keseluruhan, selaku sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berhubungan. (2) Hubungan sebab dan akibatnya
bersifat jamak dan timbal balik. (3). Sistem sosial senantiasa berada dalam
keadaan keseimbangan dinamis, penyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem
menimbulkan perubahan minimal di dalam sistem itu. (4). Integrasi sempurna tak
pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan namun
cenderung dinetralisir melalui institusionalisasi. (5). Perubahan pada dasarnya
berlangsung secara lambat, lebih merupakan proses penyesuaian ketimbang
perubahan revolusioner. (6). Perubahan adalah hasil penyesuaian atas perubahan
yang terjadi di luar sistem, pertumbuhan melalui diferensiasi dan melalui
penemuan-penemuan internal. (7). Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai
bersama. Ciri-ciri umum ini akan muncul kembali dalam pandangan Parson dan
Smelser. Menurut Parson mula-mula berpendapat perubahan sosial harus dimulai
dengan struktur sosial dengan analisis struktural lebih diutamakan dari
analisis proses perubahan. Perubahan hanya dapat dipahami melalui pemahaman
struktur terlebih dahulu, utamanya sifat struktur yang menjadi landasan penting
perubahan sosial itu. Sistem adalah dua unit atau lebih yang berinteraksi.
Unit-unit itu berupa aspek psikologis kelompok. Faktor-faktor yang menyebabkan
perubahan sosial dapat muncul dari dalam (factor
endogen) dan faktor luar (factor
exogen). Faktor eksogen dari perubahan adalah faktor yang muncul dari
sistem sosial lain. Faktor endogen dihasilkan dari ketegangan internal yang
seimbang antara input dan output di antara beberapa sub sistem. Ketegangan
berarti hubungan antara dua sub sistem atau lebih berada di bawah tekanan untuk
berubah, dan berubah menurut cara yang tak sesuai dengan keseimbangan sistem. Menurut
Smelser, faktor-faktor yang menentukan perubahan sosial (1). Keadaan struktural
untuk berubah (2). Dorongan untuk berubah (3). Mobilisasi untuk berubah (4).
Pelaksanaan kontrol sosial (Parsons et al, 1964).
2.7.4.
Perubahan Sosial Sebagai Bentuk Transformasi
Banyak defenisi tentang perubahan
sosial dilahirkan oleh berbagai peneliti dengan berbagai perbedaan penekanan
dan sudut pandang. Ada yang menyatakan perubahan sosial sebagai perubahan
penting struktur sosial yaitu pola perilaku dan interaksi, termasuk norma,
nilai dan fenomena kultural (Moore, 1973).
Pembahasan tentang perubahan sosial dapat diuraikan dari dua sudut pandang
yaitu : (1) dari prosesnya dan (2) sudut pandang teoritik. Dari lingkup teori,
perubahan sosial pada awalnya masuk dalam teori besar (grant theory), bersifat makro yang ditandai oleh bahasan tentang
kapitalisme. Pada perkembangan berikutnya teori sosiologi tentang perubahan
sosial terutama teori di abad 19 dapat dibagi menjadi teori evolusi sosial dan
teori revolusi. Namun kecenderungan sosiologi pada abad ke 20 mengacu pada
teori madya (middle theories) yang
lebih operasional dalam memperhitungkan perkembangan dan pembangunan institusi
tertentu, kelompok sosial, unsur budaya atau kepercayaan tertentu, karena
membicarakan transformasi masyarakat secara keseluruhan adalah kajian yang amat
luas.
2.7.5.
Fungsionalisme dalam Studi Sosial
Perspektif
ini menemukan dirinya sebagai fungsionalisme struktural yang fokus utamanya
terhadap persyaratan fungsional atau kebutuhan dari suatu sistem sosial yang
harus dipenuhi apabila sistem tersebut survive
dan menghubungkannya dengan struktur. Sesuai dengan pandangan tersebut, suatu
sistem sosial cenderung menampilkan tugas-tugas tertentu yang diperlukan untuk
mempertahankan hidupnya dan analisis sosiologi mencakup usaha untuk menemukan
struktur sosial yang dapat melaksanakan
tugas-tugas tersebut atau yang dapat memenuhi kebutuhan sistem sosial tersebut.
Dalam hal ini Parsons dan Merton dianggap sebagai structural functionalist perspektif (Perspective functionalism) karena dua alasan, yaitu (1) menjelaskan
hubungan functionalis dengan para pendahulunya, terutama Durkheim, Brown dan
Malinowski; (2) tokoh aliran ini menyebutkannya dengan istilah fungsionalisme.
Fungsionalisme
modern bersumber dari Comte, Spencer, Pareto, Durkheim dan ahli antropologi
seperti Radcliffe, Brown dan Malinowski. Comte, pencer dan Pareto menekankan
pada hubungan interdependen antara bagian-bagian dalam sistem sosial. Durkheim
menekankan pada integrasi dan solidaritas. Comte mengatakan bahwa terdapat
hubungan ketergantungan antara bagian-bagian dalam sistem sosial. Bilamana
hubungan keharmonisan antara keseluruhan dan bagian-bagian tersebut terganggu,
maka sistem tersebut mengalami suatu keadaan patologis. Spencer mengemukakan
konsep tentang diferensiasi, yaitu hubungan saling mempengaruhi antara
bagian-bagian yang berbeda dari suatu sistem yang disebabkan oleh semakin
meluasnya atau semakin kompleknya suatu masyarakat. Pareto menyatakan bahwa
inti dari sistem sosial adalah individu-individu dengan keinginannya, dorongan
dan perasaannya. Ia menguraikan ketergantungan diantara bagian-bagian dalam
suatu sistem dan banyak dipinjam oleh Parsons untuk menerangkan keseimbangan
dinamis yang menghasilkan keharmonisan sistem. Durkheim memberikan contoh yang
jelas tentang hubungan fungsional antara hukuman dan collective sentiments atau share
values. Hukuman tidak hanya mempunyai fungsi untuk mengurangi kejahatan
tetapi juga mempunyai fungsi untuk memelihara collective sentiments tadi. Hukuman itu ada karena fungsi yang
harus dilaksanakan untuk mempertahankan collective
sentiment dan sebaliknya menyebabkan hukuman.
2.7.6.
Makna Sosial
Manusia
adalah makhluk sosial yang dapat bergaul dengan dirinya sendiri, menafsirkan
makna-makna obyek-obyek di alam kesadarannya dan memutuskannya bagaimana ia
bertindak secara berarti sesuai dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang
melakukan sesuatu karena peran sosialnya atau karena kelas sosialnya atau
karena sejarah hidupnya. Tingkah laku manusia memiliki aspek-aspek pokok
penting sebagai berikut : (1) Manusia selalu bertindak sesuai dengan makna
barang-barang (semua yang ditemui dan dialami, semua unsur kehidupan di dunia
ini (2) Makna dari suatu barang itu selalu timbul dari hasil interaksi di
antara orang seorang (3) Manusia selalu menafsirkan makna barang-barang
tersebut sebelum ia bisa bertindak sesuai dengan makna barang-barang tersebut.
Atas dasar aspek-aspek pokok di atas,
interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia
memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul
saling mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila
mau membentuk tindakan sendiri (
Schlegel, 1977 ). Blummer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi sosial
seseorang dengan orang lain dan disempurnakan pada saat proses interaksi sosial
berlangsung (Poloma, 1992). Makna dari sesuatu berasal cara-cara orang atau
aktor bertindak terhadap sesuatu dengan memilih, memeriksa, berpikir,
mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia ditempatkan dan arah
tindakannya. Proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan
menghancurkan aturan-aturan, dan struktur sosial sebagai hasil interaksi
seseorang yang terlebih dahulu diberi pengertian atas tindakan tersebut. Ini
berarti interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, penafsiran
oleh kepastian makna tindakan orang lain.
2.7.7. Teori
Interaksionis Simbolik
Pada dasarnya teori
mengenai interaksionis simbolik merupakan tradisi keilmuan yang berkembang bi
bidang psikologi. Dalam pandangan Cooley (dalam Poloma,1994), imajinasi yang
dimiliki manusia merupakan fakta masyarakat yang solid dan berfungsi sebagai
suatu warisan realitas dalam dunia subjektif. Menurut pemikiran Blummer (dalam
Poloma, 1994), interaksionis simbolik selalu mengarah kepada tiga premis utama,
yakni : (a) manusia yang bertindak terhadap sesuatu selalu berdasarkan pada makna-makna
yang ada pada sesuatu itu bagi mereka sendiri (b). Makna tersebut senantiasa
berasal dari interaksi sosial dari seseorang dengan orang lain dan (c)
makna-makna tersebut disempurnakan pada saat proses interaksi sosial itu berlangsung.
Menurut Blumer (dalam Irving, 1996),
interaksi simbolik itu merupakan karakter interaksi khusus yang berlangsung
antar manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain, tetapi
dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respons aktor
baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan pada penilaian
makna tersebut.
Di
dalam tulisan ini, perlunya penggunaan teori interaksi simbolik adalah dalam
rangka untuk lebih memberikan penekanan pada pemahaman terhadap tindakan
seseorang, yakni masyarakat adat Keo di desa
Lajawajo yang bisa dipelajari dengan menggunakan teknik introspeksi
untuk dapat mengetahui lebih jauh mengenai hal-hal yang melatarbelakangi tindakan
tersebut dari sudut pelakunya. Dalam
pemahaman tindakan ini tidak dapat dilakukan tanpa mengetahui simbol
yang dipakai pelaku untuk dapat melukiskan tingkah lakunya sendiri. Bila dikaji
lebih jauh, data yang ingin diperoleh dapat diketahui pada tingkat pemikiran
dan tindakan setiap individu. Studi mengenai hubungan subjektif atau
seakan-akan mengalami sendiri (vicarious
experience). Untuk memahami tindakan
orang lain juga diperlukan simpati imajinatif.
2.7.8. Akulturasi dan Asimilasi
2.7.8.1. Akulturasi
Akulturasi
atau acculturation atau culture contac,
mempunyai berbagai arti di antara para sarjana antropologi, tetapi semua
sepaham bahwa konsep itu mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari
suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan
asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Terbukti bahwa tidak
pernah terjadi difusi dari satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur itu, seperti
termaksud dalam contoh tentang penyebaran mobil yang selalu berpindah-pindah
sebagai suatu gabungan atau suatu kompleks yang tidak mudah dipisah-pisahkan
(Lewis, 1953).
2.7.8.2. Asimilasi
Asimilasi
atau assimilation adalah proses
sosial yang timbul bila ada : (1) golongan-golongan manusia dengan latar
belakang kebudayaan yang berbeda-beda; (2) saling bergaul langsung secara
intensif untuk waktu yang lama, sehingga (3) kebudayaan-kebudayaan
golongan-golongan masing-masing berubah sifatnya yang khas, dan juga
unsur-unsurnya masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan
campuran. Biasanya golongan-golongan yang tersangkut dalam suatu proses
asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas.
Dalam hal ini golongan-golongan minoritas itulah yang mengubah sifat khas dari
unsur-unsur kebudayaannya, dan menyesuaikannya dengan kebudayaan dari golongan
mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kehilangan kepribadian
kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas (Lewis, 1953).
2.8. Kerangka Konseptual
Terkait
dengan masalah penelitian ini maka setiap orang memberikan defenisi atau makna
yang berbeda tentang interaksi sosial masyarakat. Dalam hal ini akan
diungkapkan apa makna interaksi sosial masyarakat Keo khususnya pemahaman
perubahan budaya sehingga mereka dapat memaknainya. Asumsi-asumsi teori
interaksionisme simbolik yang dikemukakan oleh Blummer akan diperhatikan dalam
pelaksanaan penelitian di lapangan khususnya dalam memahami makna interaksi
sosial Masyarakat Keo. Untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai alur
penelitian ini dibawah ini digambarkan kerangka konseptual yang dapat
menjelaskan memgenai keterkaitan teori-teori yang relevan, keberadaan adat istiadat,
tari-tarian, seni dan religi serta kebijakan pemerintah daerah terhadap
pembangunan.
Secara Konseptual Kerangka Penelitian
ini dapat digambarkan sebagai berikut :